18 Maret 2012

Arabisasi Indonesia

 



Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita telah mengenal warisan budaya yang telah mentradisi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yakni, berupa nilai-nilai toleransi, saling menghormati, saling memahami perbedaan dan hidup rukun dalam bingkai "Bhinneka Tunggal Ika".

Rupanya, nilai-nilai mulia itu yang oleh beberapa pihak akan dicemari. Paling tidak, mau dirusak dan diubah. Caranya dengan mengemukakan term-term yang tampaknya benar, tapi pada dasarnya ingin mencerabut akar budaya warisan nenek moyang kita yang notabene-nya juga warisan ulama nusantara sebelumnya.

Dalam rangka itu pula, lalu kemudian disuguhkan pernyataan-pernyataan menarik yang membius umat untuk mengikuti cara-cara baru dalam beragama, bersosial dan bernegara. Sebenarnya sih, hal ini bukan barang baru, tapi kini dikumandangkan lagi seiring dengan terbukanya kran kebebasan di berbagai bidang.

Misalnya, statemen "Mengislamkan Indonesia atau Mengindonesiakan Islam?", "Mengapa takut dengan syariat?", "Lawan tirani Thaghut!", "Budaya Kafir dan Bid'ah", dan statemen lain yang mengatasnamakan "Islam". Padahal, dibalik itu semua ada agenda lain yang salah satunya, mencemari budaya nusantara dan merubah sikap keberagamaan umat di Indonesia.

Sikap toleran, rukun, damai, saling menghormati, gotong royong dan nilai mulia lainnya inilah yang berusaha digerus dan dicerabut dari akarnya, sedikit demi sedikit dengan berbagai wacana yang ditebar melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.

Pola pikir dan cara mensikapi umat lain ala "Timur Tengah" dan negara-negara konflik itulah yang kini ditransfer ke Indonesia. Inilah yang mungkin tepat disebut "virus Arabisasi".

Sebenarnya, virus ini bukan hendak mengislamkan Indonesia atau membumikan syariat yang "rahmatan lil a'lamin". Akan tetapi, lebih pas disebut "Arabisasi Indonesia". Sekali lagi, para agen mereka bukan hendak mengajarkan dan mencontohkan Islam yang mulia, tapi sebenarnya ingin menebarkan gaya beragama ala "Timur Tengah" atau "Arab" di bumi Indonesia.

Tujuannya jelas, yakni menciptakan konflik antar umat seagama dan antar umat beragama. Gaya-gaya memberontak atasnama "melawan pemerintahan Thaghut" adalah gaya-gaya jahiliyah yang hendak di tanam di bumi pertiwi, Indonesia.

Mengapa harus Indonesia? Karena, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang mayoritas menganut aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.

Telah lama mereka berpikir bagaimana caranya melemahkan kaum muslimin sunni di Indonesia? Berbagai media dan dukungan dana telah digelontor, namun belum juga berhasil. Akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam di Indonesia terletak pada adanya figur ulama / kiai, posisi pesantren dan kekuatan menjaga tradisi nenek moyang.

Untuk itu, lalu mereka menyerang karakter para kiai / ulama agar umat Islam di Indonesia, terutama para santri, kehilangan rasa ta'dzim terhadap para kiai. Bersamaan dengan itu, mereka pun menciptakan "kiai-kiai" mereka. Tak heran, bila muncul ustadz-ustadz baru yang menjadi agen-agen "arab wahabi".

Tak cukup di situ, mereka juga membangun pondok pesantren ala pesantren tradisional. Pondok itu mereka jadikan wahana pembibitan generasi baru yang didik memiliki militan dan trengginas.

Yang terakhir, mereka menyebut tradisi nenek moyang kita sebagai "asathirul Awwalin", cara beragama kita dikatakan "bid'ah dan sesat", tokoh-tokoh kita disebut "kafir, sesat, kolot", pemerintahan kita yang dinilai tidak mendukung formalisasi syariat disebutnya " fir'aun, thaghut, dajjal, dsb ".

Gaya-gaya ala "koboi gurun" ini yang patut diwaspadai agar budaya keberagamaan berwawasan "rahmatan lil 'alamin" yang telah ditanamkan para ulama terdahulu di tanah air ini, tidak tercabut dari akarnya.

Untuk itu dibutuhkan "al-Muhafadzah 'ala al-Qodiim al-Shalih, wa al-Akhdu bi al-Jadiid al-ashlah", menjaga hal lama yang telah baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.

4 komentar:
Tulis komentar
  1. Islam itu seperti air. Di mana ia berada, begitulah bentuknya, tanpa mengurangi sedikitpun hakikatnya. Bahkan ketika ia berubah nama.

    BalasHapus
  2. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus
  3. terima kasih atas opini dan kunjungannya

    BalasHapus
  4. Mengenang 70 tahun (1945-2015) Proklamasi 1945, yaitu pernyataan kehendak bangsa Indonesia menentukan nasib sendiri, antara lain membentuk negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan : berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, berkepribadian dibidang budaya.

    Izinkanlah saya menyampaikan sejumlah hal yang sudah lama tersimpan pada batin saya.

    1. Kaum Muslim – terutama Muslim di Indonesia – segera membuang anggapan bahwa bahwa untuk menjadi Muslim yang baik hendaklah menjadi “Arab minded” atau meniru Arab. Fahamilah bahwa Islam dan Arab adalah 2 hal yang berbeda, Islam hadir pertama kali di Arabia untuk memperadabkan (budaya/bangsa) Arab yang pada dasarnya tidak beradab.

    2. Fahamilah bahwa Nabi Muhammad diutus untuk mengislamkan orang, bukan mengarabkan. Yang diubah dari umat manusia adalah spiritualnya, bukan identitas ras, suku atau bangsa. Seseorang dapat menjadi Muslim yang baik sekaligus tetap menjadi misalnya orang Cina, orang India, orang Jepang, orang Turki, atau orang Eropa.

    3. Bangsa ini perlu memperkuat rasa identitasnya sebagai bangsa dengan cara menyajikan kembali pelajaran sejarah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dengan demikian bangsa ini tahu asal muasal atau proses terbentuknya bangsa dan negara ini. Metoda hafalan (nama orang, nama tempat, nama peristiwa dan tanggal peristiwa) harus diganti dengan metoda renungan atau analisa peristiwa yang dapat ditemukan relevansinya dengan zaman kini. Jadi, terasa ada kesinambungan antara masa lalu dengan masa kini.

    4. Jika pelajaran Pancasila harus disajikan kembali, metodanya juga diubah. Jangan pakai metoda hafalan atau indoktrinasi, tapi pakai juga renungan atau analisa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

    5. Segala dinamika yang terjadi pada masyarakat segera disimak dan dicari solusinya, jangan terkesan ada pembiaran oleh pemerintah atau menjadi komoditas politik. Hal tersebut perlu untuk memperkecil peluang fihak asing masuk dan bermain di negeri ini sesuai dengan agenda mereka.

    6. Kurangi ketergantungan dengan fihak asing, Indonesia memiliki banyak hal yang tak dimiliki sejumlah fihak luar : alam kaya, wilayah luas dan letak strategis sungguh dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat jika dikelola dengan tepat. Kriterianya adalah selalu mengutamakan kepentingan nasional, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

    7. Bangsa ini perlu suatu standar penyaring yang dapat mencegah faham-faham yang merugikan kepentingan nasional masuk ke negeri ini. Dengan demikian segala faham luar dapat memperkaya dan bukan memperdaya bangsa, atau keragaman di dalam adalah kekayaan dan bukan kerawanan bangsa.

    Usulan yang disajikan penulis masih dapat dibahas dan bukan satu-satunya kebenaran mutlak, artinya masih terbuka untuk penyempurnaan.


    Salam “MERDEKA” dari anggota Pejuang 1945!

    Indra Ganie - Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten.

    BalasHapus