2 Agustus 2012

Tarawih Bid'ah Paling Nikmat

 


Setiap menjelang Subuh, MNC TV menayangkan film berjudul "Umar bin Khattab", sebuah film religi tentang sejarah Islam yang patut untuk ditonton di bulan Ramadan ini. Salah satu yang paling menarik bagi saya, tentu saja tokoh Umar bin Khattab yang di film itu menjadi 'tokoh sentral'  tanpa juga menafikan tokoh lain dari para sahabat Nabi Muhammad saw.

Apa yang menarik dari Umar? Selain keberaniannya dalam membela Islam, juga keberaniannya dalam berijtihad. Tak heran bila Nabi saw pernah bersabda, "Andai ada nabi setelah aku, pastilah dia itu Umar". Sebelum menjadi muslim, Umar juga orang yang sangat diharapkan oleh Nabi untuk memeluk Islam agar perjalanan dakwah menjadi kuat.

Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas sebuah statemen Khalifah Umar yang pernah menyatakan, "Nikmatul Bid'ah hadzihi", bid'ah paling nikmat adalah ini, sambil beliau menunjuk pelaksanaan ibadah shalat tarawih sebanyak 20 rakaat yang diselenggarakan secara berjamaah di masjid.

Yah, sebelum masa Khalifah Umar, shalat tarawih 20 rakaat belum pernah dilaksanakan berjamaah secara full di sebuah masjid. Di era Nabi, beliau saw mengimami shalat tarawih di masjid hanya 8 rakaat, sisanya yang 12 rakaat dilakukan Nabi dan para sahabat secara individual di rumah masing-masing. Ada pula yang melanjutkan sisanya (12 rakaat) secara berjamaah, tapi berkelompok-kelompok, tidak dalam satu masjid.

Jadi jelas, berdasarkan hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim, jumlah rakaat tarawih adalah sebanyak 20 rakaat, bukan 8 rakaat seperti yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Hanya memang, sekali lagi, Nabi Muhammad saw melaksanakannya 8 rakaat di masjid secara berjamaah dan 12 sisanya di rumah secara individual.

Begitu pula di era Khalifah Abu Bakar yang hanya berlangsung 3 tahun, belum pernah ada shalat tarawih full 20 rakaat secara berjamaah di masjid. Dan, ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai Khalifah, beliau menginstruksikan agar shalat tarawih 20 rakaat dilaksanakan secara berjamaah di dalam masjid.

Keputusan Umar tersebut diamini oleh para sahabat Nabi, termasuk Siti Aisyah, isteri Nabi yang mendukung ide brilyan Umar bin Khattab. Dengan pelaksanaan shalat tarawih full 20 rakaat secara berjamaah di bulan Ramadan, apalagi di masjid sebagai pusat peribadatan dan tempat i'tikaf, maka keputusan ini berdampak positif bagi perkembangan Islam dan persatuan umat.

Ketika keputusan itu telah dilaksanakan dan disambut suka cita oleh para sahabat dan tabiin, Umar pun dinilai sebagai khalifah yang sukses. Ijtihadnya ini menuai banyak pujian. Sebuah langkah inovatif dalam menghidupkan malam-malam penuh berkah di bulan Ramadan.

Karena hal itu merupakan "cara atau model baru" (baca: bid'ah), maka muncul sebuah pernyataan langsung dari Khalifah Umar bin Khattab, "Tarawih 20 rakaat secara berjamaah di masjid adalah Bid'ah paling nikmat". Dengan kata lain, itulah inovasi beribadah yang sangat baik. Meski cara itu tidak dilakukan Nabi, bukan berarti tidak benar. Namun justru, inilah "Bid'ah Hasanah" sebagai buah ijtihad dari Umar yang didukung para sahabat Nabi.

Disebut kata "bid'ah", ada saja orang yang alergi. Padahal, tidak semua bid'ah adalah sesat, sebagaimana pemahaman segelintir orang dengan menyitir hadis Nabi, "Kullu bid'atin dholalah", yang lalu diterjemah "Setiap bid'ah adalah sesat, keliru". Padahal, makna yang tepat dari kata "kullu" dalam hadis tersebut berarti "sebagian, beberapa", bukan "setiap atau semua".

"Semua mobil mahal", bukan berarti semuanya, sebab ada sebagian yang murah. Ketika Allah berfirman, "Aku jadikan segala sesuatu dari air", maka bukan berarti semua ciptaan-Nya terbuat dari air. Ada yang tercipta dari cahaya (malaikat), api (setan, jin), dan sebagainya.

Ringkasnya, ada bid'ah hasanah (baik, benar) ada bid'ah sayyiah (salah, sesat, keliru). Jika kata bid'ah masih dikonotasikan buruk dan dipandang negatif sebab ia adalah sesuatu yang belum dilaksanakan di era Nabi, maka tendensi inilah yang sepertinya ingin ditepis oleh Khalifah Umar dengan pernyataan beliau, "Sesungguhnya bid'ah paling nikmat adalah shalat tarawih".

Selamat menghiasi malam-malam penuh berkah di bulan Ramadan dengan shalat tarawih 20 rakaat berjamaah, sebuah bid'ah paling nikmat khas Ramadan.

4 komentar:
Tulis komentar
  1. Alhamdulillah...
    Ni'matul bid'ah hadzihi.... ^_^

    BalasHapus
  2. SESUATU YANG MEMILIKI LANDASAN DALAM SYARIAT TIDAK DINILAI SEBAGAI BID'AH

    Contoh adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka'ab. Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia berkata, "Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu Umar berkata, "Aku berpendapat, seandainya semua orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu orang imam niscaya akan lebih baik." Dan, rencananya Umar akan mengangkat Ubay bin Ka'ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar, "Bid'ah” yang paling baik adalah ini. Dan, orang yang saat ini tidur adalah lebih baik dari mereka yang melaksanakan qiyamullail pada saat ini karena mereka (yang masih tidur) akan melaksanakannya pada akhir malam, sedangkan orang lainnya melaksanakannya pada awal malam.

    Kata "bid'ah" yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat "bid'ah yang paling baik adalah ini" adalah kata bid'ah dengan pengertian lughawi 'etimologis', bukan dengan pengertian terminologis syariat. Karena, kata bid'ah dalam pengertian etimologis adalah "sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat" yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, "Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat( tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian

    Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika Allah SWT mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan wafatnya Nabi saw.. Dengan begitu, hilang pula faktor yang menghalangi dilaksanakannya shalat tarawih dalam satu kesatuan jamaah shalat
    Yang terpenting, makna "mukhtara'ah (sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat)" itu adalah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh syariat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Katanya semua bid'ah sesat, kok sekarang jadi dibagi secara "lughowi dan syar'i"...?

      Kalau semua ya ga peduli lughowi dan syar'i dong, kan semua...

      Hapus