21 Desember 2012

Aswaja UIN Malang

 


Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) adalah umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah saw dan berkeyakinan dengan benar, tidak menyimpang dari ajaran Islam yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Akidah Aswaja inilah yang sejak era Walisongo dibumikan di sepanjang nusantara.

Banyak sekali ormas Islam yang memperjuangkan Aswaja tersebut. Salah satu yang terbesar di Indonesia dan bahkan di dunia adalah Nahdlatul Ulama. Karenanya, Islam Indonesia adalah mayoritas "sunni", sebutan untuk pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah.

Selain ormas Islam, tentunya adalah pesantren. Tradisi keilmuan pesantren yang dikembangkan para kiai di Indonesia, baik yang salafi maupun modern, juga mayoritas bernuansa Aswaja sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren adalah tembok kokoh pelestrasi Aswaja.

Lalu, ada pertanyaan unik; selain pesantren, adakah perguruan tinggi Islam yang berwajah dan berhaluan serta bertradisi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)?

Pertanyaan ini ternyata tidak mudah dijawab dan dipetakan. Jika dijawab, "Ada dan banyak", boleh jadi mudah saja dan perguruan tinggi yang dimaksud tersebut tentu kampus-kampus Islam yang kini mulai banyak didirikan oleh pesantren. Karena  perguruan tinggi tipe ini dibangun oleh para kiai dan santri/alumni sehingga identitasnya menjadi jelas bahwa kampus tersebut mengikuti "Body of Knowledge" pesantren yang berasaskan Ahlussunnah Wal Jamaah.

Lalu, adakah perguruan tinggi Islam di negeri ini yang berasaskan Ahlussunnah Wal Jamaah? Inilah yang sekali lagi, tidak mudah dijawab. Yang pasti, jelas ada. Paling tidak, indikasinya adalah kampus tersebut dihuni oleh para kiai, dosen, mahasiswa dan sivitas akademik yang mayoritas berakidah Aswaja.

Sebatas pengetahuan penulis, kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang adalah salah satu jawabannya. Kampus berlogo "Ulul Albab" ini sejak awal dikembangkan oleh para kiai terkemuka, sebut saja beberapa kiai yang tercatat pernah mengajar di sana, antara lain: KH Oesman Mansor, Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih, KH Basori Alwi, KH Maksoem Oemar, KH. Masduqi, KH Abdul Mujib, KH. Ahmad Muchdor, KH Zainuddin dan masih banyak lagi kiai sepuh lainnya.

Hingga kini, kampus ini masih juga diasuh para kiai, sebut saja KH Marzuki Mustamar, KH Chamzawi dan sederet nama lainnya. Bahkan, di antara mahasiswa/i, banyak yang berasal dari keluarga pesantren yang tentu saja setelah lulus, mereka dapat mengembangkan pondok pesantrennya dengan ilmu yang pernah digali di kampus UIN Malang.

Selain keberadaan kiai dan santri, indikasi UIN Malang sebagai kampus Aswaja adalah adanya ma'had dan masjid. Kedua tempat ini menjadi medan pelestarian ajaran Islam dan tradisi Aswaja. Tak heran, bila kegiatan religius yang bertujuan untuk memperdalam aspek spiritual warga kampus, dapat tumbuh subur di UIN Malang. Ada Khatmil Quran, tahlil, istighatsah, shalawatan, maulid diba', seni banjari, dan banyak lagi.

Eksistensi UIN Malang sebagai pelestari akidah Aswaja ini, juga tidak lepas dari kepemimpinan rektornya yang sangat kuat dan kokoh memegang falsafah "al-Muhafdzah ala al-qodim al-sholih wa al-akhdu bi al-jadiid al-ashlah", melestrasikan hal lama yang baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik.

Oleh karenanya, sejarah mencatat, kebijakan-kebijakan Prof. Imam Suprayogo dalam mengejawantahkan akidah Aswaja ini bisa dikatakan sangat berhasil. Tentu saja, warga UIN Malang sangat memahami hal itu.

Sebut saja, pada saat awal-awal kebangkitan STAIN menjadi UIN Malang, Prof Imam mengajak seluruh bawahannya untuk mengkhatamkan al-Quran tiap malam jumat di akhir bulan dan kini tradisi itu makin berkembang dengan didirikannya unit Jam'iyyah Qurra' wal Huffadz yang setiap tahun memproduk para mahasiswa yang hafal al-Quran.

Lalu, tradisi baca shalawat juga tak luput dari program religius yang dikembangkan UIN Malang. Tak berlebihan, jika di kampus "Aswaja" itu pernah beberapa kali digelar dzikir akbar dan pembacaan maulid yang menyedot ribuan jamaah, baik dari dalam maupun luar UIN Malang. Para habaib, ulama dan kiai silih berganti "nyambangi" kampus yang mereka harapkan tradisi tersebut terus mengakar di dalam perguruan tinggi Islam ini.

Tentang tahlil yang oleh beberapa kalangan masih sering dituding "bid'ah", justru oleh UIN Malang dinilai sebagai sebuah ajaran dan tradisi yang wajib dikembangkan. Bahkan, ada sebuah kebijakan unik yang pernah diputuskan oleh Prof. Imam sebagai rektor. Imam al-Jami'ah ini mewajibkan seluruh karyawan yang telah diangkat menjadi CPNS supaya hafal tahlil. Bila tidak, maka dapat dipastikan, SK pegawai negerinya tidak akan mereka terima. Sebuah kebijakan yang tampak aneh. Tapi, begitulah Prof. Imam memperjuangkan tradisi Aswaja di kampus yang sangat dibanggakan para ulama dan menjadi kiblat perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Konon, di tahun 1997, jelang pemilihan Ketua STAIN Malang, beberapa kiai atau dosen berinisiatif mendatangi seorang ulama khas di Blitar. Beliau adalah KH. Masyhudi. Tujuan utama silaturahim para dosen itu adalah meminta petunjuk kepada Sang Kiai tentang siapa yang paling tepat memimpin STAIN Malang. Para dosen itu adalah KH Chamzawi, Ust H.Badruddin dan Ust. H. Imam Muslimin. Ketiga dosen senior itu membawa 4 buah foto calon kandidat Ketua STAIN, yakni, Pak Djumransjah Indar, Pak Dzofir, Pak Mukhlis Usman dan Pak Imam Suprayogo.

"Dari keempat tokoh dalam foto ini, siapakah yang paling tepat memimpin STAIN Malang dan istiqamah memperjuangkan Aswaja?", tanya para dosen itu. "Menurut saya, yang paling tepat adalah orang yang ada di foto keempat ini", jawab KH Masyhudi sambil menunjuk foto Pak Imam Suprayogo.

Tentu saja, ketiga dosen itu agak terkejut. "Mengapa justru Pak Imam yang dinilai paling tepat?". Pasalnya, latarbelakang Pak Imam selama ini adalah dari Muhammadiyah dan saat itu beliau baru saja mengembangkan UMM menjadi kampus yang megah. "Adakah yang salah? Bisakah Pak Imam diandalkan untuk memajukan kampus sekaligus melestarikan Aswaja?"

Pertanyaan itu terus menggelayuti para dosen itu yang hasilnya sama sekali di luar prediksi mereka. Tak puas dengan jawaban itu, pada lain waktu, mereka pun bersilaturrahim lagi dan kembali meminta kepastian pilihan yang tepat. Namun, jawaban Sang Kiai masih tetap sama. Yakni, menunjuk figur Pak Imam sebagai nahkoda paling tepat untuk kampus yang berasaskan al-Quran dan as-Sunnah dan mengembangkan tradisi Aswaja.

Apa yang diprediksikan oleh Sang Kiai tersebut, ternyata benar. Sebaliknya, apa yang diragukan para dosen itu, ternyata keliru. Sebab, nyatanya, Prof. Imam memang orang yang tepat karena "Imam al-Jamiah" ini adalah sosok pemimpin yang mampu mengembangkan kampus STAIN hingga menjadi UIN Malang, sekaligus melestarikan ajaran dan tradisi Ahlussunnah Wal Jamah.

Oleh karena itu, dari tulisan singkat ini dan belajar dari keberhasilan dan capain UIN Malang selama dipimpin Prof Imam Suprayogo, maka dapat disimpulkan, bahwa syarat utama penerus Imam al-Jamiah, dia haruslah muslim yang sunni, muslim yang kuat dan berani menjaga tradisi dan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, selain juga mengembangkan ilmu pengetahuan maupun sains, serta mengintegrasikannya dengan ilmu-ilmu agama yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah.

Syarat ini adalah harga mati. Sebab sejatinya, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang adalah benteng pertahanan terakhir dari kampus-kampus Islam negeri yang ada di Indonesia dalam menjaga Ahlussunnah Wal Jamaah. Jika tembok ini terkikis oleh kepemimpinan yang tidak istiqamah dan kurang amanah, maka umat Islam di Indonesia juga akan kehilangan sebuah wajah kampus Islam negeri yang berasaskan Aswaja.

2 komentar:
Tulis komentar
  1. para santri harus berani menunjukkan jati dirinya. dengan menunjukkan kinerjanya maka siapapun akan angkat topi dengan kemampuan dirinya. bila ia bisa bekerja sama, mempunyai kapasitas, kapabilitas, integritas maka ia layak untuk diusung sebagai pimpinan di segala lini kehidupan. memang seharusnya seperti itu.
    siapa lagi yang mengibarkan panji-panji ahulussunnah bila tidak para santri pondok pesantren. yang alhamdulillah sekarang sudah mengenyam di bangku kuliah di berbagai jurusan. terlebih lagi dengan adanya uin maka diservikasi kemampuan santrri beragam sehingga dimungkinkan mereka akan bisa menghiasi diberbagai bidang kehidupan.
    keberanian seperti pak imam patutu diacungi jempol. adanya identitas masjid dengan bedug, tahlil, istighosah, khataman qur'an, riyadhoh kubro, tahfidz, dzikir akbar memberi inspirasi bagi semua kalangan bahwa generasi santri mempunyai kapabilitas dan bisa dicontoh. apalagi cpns harus bisa hafal tahlil hanya rektor tertentu saja yang berani. belum tentu lho, rektor yang ketua nu berani berbuat seperti ini padahal lembaga yang dipimpin adalah lembaga pendidikan negeri.
    sekali lagi apa yang dilakukan pak imam memberi inspirasi bagi generasi santri untuk berbuat yang terbaik kepada umat, bangsa dan negara. wallahu a'lam bi al shawab.

    BalasHapus
  2. Terima Kasih, Mas Solichul Hadi atas masukan dan support-nya.
    Trims telah berkunjung di web saya

    BalasHapus