Iklan

Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan

23 November 2023

Pascasarjana UIN Malang to Bali 2023


Dokumentasi Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menuju Bali, Rabu-Sabtu, 15 - 18 November 2023. Destinasi Wisata yang dituju adalah

  • Tanjung Benoa : Banana Boat
  • Pantai Melasti Ungasan : Teater Tari Kecak
  • Hotel Neo Denpasar : Training Session
  • Ubud Rafting Kedewetan
  • Jimbaran Seafood
  • Pusat Oleh-oleh Krisna dan Joger

14 Desember 2015

KITAB SYEKH ABDUL MAJID AL BARARI


Jumat (4/12/15), pagi itu saya bersama rekan POSFI 2015 sedang asyik memilih buku di sebuah toko kitab di pasar Medina, Tunis. Saat kami masuk, si pemilik toko memberi selebaran makalah tentang "Peringatan Maulid Nabi" yang memuat dalil-dalil yang menguatkan peringatan maulid. Boleh jadi, makalah ini disebar untuk menyambut bulan kelahiran Rasulullah saw.
Saat kami terpesona dengan kitab-kitab baru, tiba-tiba kami dikejutkan oleh si pemilik toko yang memberi tahu kami, bahwa orang tua yang sedang duduk di depan meja kasir itu adalah Syekh Abdul Majid al Barari. Beliau adalah penulis kitab "Al Jawahir Al Hanifiyah". Kami pun diperkenalkan dengan Syekh berwajah teduh itu.
Tak disangka, raut wajah Syekh Abdul Majid tampak bergembira, menyambut uluran tangan kami yang hendak bersalaman dan bahkan beliau mengambil kitabnya yang saat itu sedang dipajang di etalase toko. Lalu, kitab itu diberikan kepada satu per satu dari kami secara cuma-cuma. Kami pun tidak serta-merta menerima kitab itu, kami akan membelinya untuk menimba ilmu dari Sang Syekh sekaligus tabarrukan dengan beliau.
Namun, Syekh Abdul Majid tidak mau menerima uang kami. Beliau bersikeras agar kitabnya diterima dan tanpa meminta sepersen dinar dari kami. Semakin kami paksa, semakin beliau tidak menerimanya. Syekh mengaku senang dengan Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan berakidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Inilah alasan beliau ingin menghadiahkan kitabnya tersebut.

Kitab itu langsung ditanda tangani oleh beliau selaku pengarang dan diberikan dengan kedua tangannya yang produktif. Setiap nama kami ditulis di halaman terdepan kitabnya sebagai ijazah. Tak hanya itu, setiap kami disebutnya "al-Ibn al-Aziz" (putraku yang mulia). Sungguh sebuah kehormatan menjadi bagian dari Syekh yang alim di bidang madzhab Maliki.
Satu kalimat dari beliau yang membuat saya terenyuh, ingin meneteskan air mata. "Demi Allah, kitab ini aku hadiahkan karena cintaku dengan Islam di Indonesia. Aku tidak mengharap apapun kecuali doakan aku meraih husnul khatimah". Kalimat ini juga beliau tulis di halaman judul kitabnya.
Kitab "al Jawahir al Hanifiyah" adalah referensi yang lengkap tentang fiqh madzhab Maliki. Buku setebal 276 halaman ini memuat 8 pasal. Pasal pertama hingga kelima memuat kaidah pokok agama Islam yang dimulai dari kajian ilmu tauhid (akidah), lalu tentang shalat, zakat, puasa dan yang terakhir seputar haji. Pasal keenam secara khusus mengupas tuntas permasalahan fiqh dalam madzhab Maliki yang memang dianut oleh muslim di negara-negara Maghribi di Afrika Utara, termasuk Tunisia.
Pasal ketujuh dan kedelapan, buku ini membahas tentang ilmu al-Quran dan as-Sunnah. Kedua ilmu ini dijadikan dasar dalam membahas akidah, syariah dan akhlaq. Penutup kitab ini mendeskripsikan biografi tokoh-tokoh ulama Zaytona mulai dari Syekh Muhammad al Zaghwani (1896-1979), Syekh Sayyidi Muhammad al Kalbusi (1901-1982), Syekh Muhammad Shadiq Basis (1914-1978), Syekh Muhammad al Fadhil al Abdali (1925-1997), Syekh Abdul Wahab Saadah (1936-2004), Syekh Muhammad al Mukawi (1922-2006), dan beberapa ulama lain yang dinarasikan singkat tapi lengkap dengan bahasa Arab yang mudah dimengerti.
Syekh Abdul Majid bin Shalih al Barari lahir pada 12 Juni 1927. Sejak kecil, beliau telah digembleng dengan ilmu agama di Kuttab (madrasah masjid) di kota kuno, Tunis. Beliau hafal al Quran dibawah bimbingan Syekh Sayyidi Farhat al Iyadi. Tahun 1945, beliau mulai kuliah di Universitas Zaytona. Tahun 1935, beliau mulai dipercaya sebagai guru MI di kota Qairawan. Tahun 1957, pengabdiannya sebagai guru berpindah ke MI Babul Khadra' di Tunis.
Di tahun 1963, kariernya meroket seiring dengan keberhasilannya meraih gelar akademik di bidang syariah dan ushuluddin. 3 tahun kemudian, beliau didaulat sebagai ustadz (profesor) bidang bahasa Arab. Tahun 1981, beliau ditetapkan sebagai khatib oleh negara di masjid Jami' al Nur dan Jami' al Ikhwah. Kini, selain penulis, Syekh Abdul Majid al Barari masih tetap sebagai pengajar di Madrasah Umar bin Khattab yang khusus untuk hafalan dan kajian al Quran.

Meski saat ini usianya 87 tahun, tapi beliau tetap produktif menulis. Selain kitab yang ada di tangan kami, buku-buku lain yang masih berupa "naskah" siap cetak, antara lain: Diwan al Syi'r, Abir al Riyadh bit Ta'rif al Qadhi, Tsamratul Muthala'ah, Muntakhab al Khitab lil Jum'ah wal I'dain, al Sa'yu al Hatsits li Itsrai Majlis al Hadis.
Melihat semangatnya berkarya meski sudah di usia senja, bagaikan melihat kekokohan batu karang yang tak karam dihempas gelombang lautan. Syekh Abdul Majid al Barari adalah teladan dan sosok ilmuan yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencerdaskan umat. Kitab "Al Jawahir al Hanifiyah" adalah salah satu permata yang menjadi bukti bahwa beliau memang sosok ulama yang langka, mahal dan tak terkira kualitas keilmuannya.
Di hal. 233, beliau mengutip ayat 17 surah ar Ra'd yang artinya: "...adapun buih di lautan, ia akan sirna, namun yang bermanfaat bagi manusia akan tetap tinggal di bumi...". Dan aku pun yakin, Syekh Abdul Majid al Barari adalah satu dari sekian ulama Allah yang akan tetap menyinari dunia.
Sebagaimana permintaannya, aku berdoa: "Semoga beliau meraih husnul khatimah dan kelak dikumpulkan bersama Rasulullah saw". Saat doa ini aku ucapkan di depan Syekh, tampak kedua matanya berkaca-kaca. Sampai Jumpa, Syekh Abdul Majid al Barari, semoga panjang umur dan karya-karyanya bermanfaat untuk selamanya. Salam dari muridmu di Indonesia.
Sousse, Tunisia, Ahad, 6 Desember 2015

10 Desember 2015

PENDIDIKAN MURAH TUNISIA DAN REVOLUSI MENTAL

Penduduk Tunisia hanya sekitar 11 jutaan, kurang dari 10 persen dibanding jumlahwarga negara Indonesia. Tidak seperti negara Arab di Timur Tengah, Tunisia hanya mengandalkan sektor pariwisata dan perkebunan Zaitun. Namun, negara bekas jajahan Perancis ini, tergolong makmur. Salah satu indikasinya, selain tingkat penghasilan warga, adalah tingkat pendidikan.
Di Tunisia, bea kuliah sangat murah meriah. Mahasiswa jenjang S1 hanya dikenai bea materai dan administrasi sebesar 35 Dinar (Rp 245 ribu) per tahun. Mahasiswa S2 dan S3 sebesar 108 Dinar (Rp 756 ribu). Ini berlaku untuk semua kalangan, baik mahasiswa asing maupun pribumi, pada semua universitas dan program studi. Tidak ada lagi biaya tambahan seperti uang gedung, laboratorium, perpustakaan apalagi buku LKS, hehehe... Semua pernak-pernik pendidikan yang berpotensi proyek, tidak ada di Tunisia.
Bagi mahasiswa asing yang kuliah di Tunisia, biaya itu sangat murah. Yang "relatif" agak mahal adalah biaya hidup (living cost). Apalagi, beasiswa pemerintah Tunisia untuk mahasiswa Indonesia telah berhenti, sejak beberapa tahun belakangan ini. Sekedar contoh, bea sewa flat 2 kamar di sekitar kampus, mencapai angka 200 USD. Itu rumah kosong, tanpa perkakas apapun. Mahasiswa dari negara lain umumnya masih memperoleh beasiswa bulanan dan jatah tinggal di asrama kampus. Mengapa mahasiswa Indonesia tidak? Karena rupanya, MoU antara pemerintah kita dengan pemerintah Tunisia, telah lama kadaluwarsa. Seharusnya, MoU beasiswa itu diperbaharui per 4-5 tahun.

Untung saja, telah lama terbentuk PPI Tunisia (Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia). Melalui wadah ini, mereka saling membantu dan biaya “patungan” untuk kontrak rumah dan masak bareng. Menurut penuturan beberapa mahasiswa asal Indonesia, minimal mereka butuh sekitar 150 sd. 200 USD (Rp 2 – 3 juta) biaya hidup sebulan untuk makan, bayar sewa rumah, beli buku, dan sebagainya termasuk untuk jalan-jalan.
Jika kreatif dan mau penghasilan tambahan, mahasiswa bisa kerja sambilan di KBRI sebagai petugas jaga, kebersihan atau masak. Bisa juga, kerja sebagai guide atau berjualan di saat hari libur. Mahasiswa Indonesia di Tunisia, mereka tinggal di rumah kontrak yang biayanya ditanggung secara patungan sehingga lebih ringan. Selain itu, mereka sudah terbiasa masak sendiri dengan menu seadanya ala pesantren yang itu sangat menghemat uang saku.
Hingga hari ini, sekolah atau kampus negeri di Tunisia sangat diminati oleh rakyatnya dan juga oleh warga negara asing dari pada lembaga swasta. Selain murah meriah, kualitasnya juga lebih baik. Di sisi lain, para guru dan dosen, semuanya pegawai negeri dan tingkat ekonomi mereka cukup mapan. Profesi sebagai guru, dosen atau ilmuan, sangat dihormati oleh rakyat Tunisia. Pemerintah selalu memberi apresiasi tinggi kepada tenaga pendidik yang berprestasi dan produktif.
Jadi, bisa dikatakan, uang pendidikan sebesar 35 Dinar dan 108 Dinar yang diwajibkan pemerintah Tunisia itu hanya "sekedar" untuk biaya administrasi agar siswa atau mahasiswa dapat nomor presensi sekolah atau kuliah. Uniknya lagi, biaya itu disetor melalui kantor pos. Jadi, tidak dibayar di kantor sekolah/kampus. Lembaga pendidikan di Tunisia tidak ngurusi uang, tapi fokus pada pendidikan.
Pemerintah Tunisia saat ini mengalokasikan 26 persen APBN-nya untuk pendidikan. Bahkan, di era mendiang Presiden Bourghiba, beliau mengalokasikan sepertiga dari APBN untuk biaya pendidikan. Tidak hanya 20 persen. Sungguh luar biasa!

Ada sebuah obrolan antara mendiang Habib Borguiba – presiden Tunisia yang memerintah tahun 1957-1987 – dengan Muammar Kadafi, pemimpin Libya. Entah anekdot ini benar atau tidak, tapi patut juga diambil hikmahnya.
Suatu hari, Borguiba bertanya, “Mengapa uang Ente yang melimpah itu dihabiskan untuk membeli senjata? Bukan untuk pendidikan rakyat?” Kadafi menjawab, “Agar militerku kuat, sehingga Ane nanti tidak bisa dikudeta oleh rakyat”. Borguiba menjawab, “Dikudeta oleh rakyat yang berpendidikan, lebih terhormat daripada dikudeta oleh rakyat yang bodoh”.
Dan benar, pada akhirnya, Bourghiba pun dikudeta militer melalui revolusi damai tahun 1987, tanpa setetes pun darah yang tumpah. Sementara itu, Moammar Khadafi harus mengalami nasib naas. Kekuasaannya digulingkan rakyatnya sendiri tahun 2011 dan bahkan dirinya dijadikan boneka mainan sebelum tewas di tangan rakyatnya sendiri yang mayoritas masih berpendidikan rendah sehingga revolusi di Libia berdarah-darah hingga hari ini.
Tak hanya itu, baru-baru ini, Mesir bergejolak atasnama revolusi hingga Husni Mubarak harus rela melepaskan jabatannya, lalu revolusi itu menular ke negara lain seperti Maroko, Aljazair, Suria, Yaman, Libia termasuk juga Tunisia. Ketika semua negara itu bergejolak hingga menimbulkan korban, beda dengan Tunisia. Revolusi berlangsung damai dan hanya dalam waktu 3 hari, pemerintahan pulih kembali. Apa rahasianya? Jelas jawabnya adalah tingkat pendidikan warganya yang pintar dan berpikir moderat.
Pendidikan murah ala Tunisia terbukti hingga hari ini telah berhasil merevolusi mental rakyatnya. Rakyat Tunisia sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan sehingga sebesar apapun nafsu reformasi atau bahkan revolusi, mereka akan tetap menjauhi perbuatan destruktif dan anarkhisme, apalagi menumpahkan darah sesama warga negara.
Sekali lagi, mental rakyat yang lebih mengedepankan rasionalitas daripada emosi ini adalah berkat pendidikan. Oleh karena itu, kepedulian pemerintah Tunisia dan rakyatnya terhadap pendidikan, tidak hanya isapan jempol, tidak hanya berhenti pada tataran rapat di dewan atau aksi heroik pemerintah. Tapi, benar-benar diwujudkan dengan pengalokasian sepertiga APBN untuk pendidikan. Apa kabar Indonesia, berani?
Sousse, Tunisia, 5 Nopember 2015

29 November 2015

ETOILE DU SAHEL: BINTANG TUNISIA


Ahad (29/11/15), seperti biasa, aku berangkat shophing sambil refreshing ke pasar Ahad. Sejak pagi, suasana jalan raya di Sahlul, -tempat apartemenku-, sudah ramai. Padahal, biasanya sepi. Terlihat beberapa mobil sedan ditumpungi suporter sepakbola. Mereka berkonvoi, beryel-yel sambil membunyikan klakson dan mengibarkan bendera klub berwarna merah. "Ah, akan ada pertandingan sepakbola nih", pikirku.
Ternyata, benar. Hari ini akan digelar pertandingan final untuk memperebutkan mahkota juara CAF Confederation CUP, sebuah turnamen untuk tim-tim asal Afrika yang dibentuk tahun 2004 lalu. Juara CAF Confederation (Piala Winner-nya Afrika) akan berhadapan dengan Juara Liga Champion Afrika di tahun depan untuk memperebutkan Piala Super Afrika.
Makanya, warga Tunisia, khususnya orang Sahlul di Sousse sangat antusias menyambut pertandingan akbar ini. Tak heran, ketika ada seorang Tunis berkata kepadaku: "Dukung An-Najm ya...". Aku jawab: "Allah ma'akum ma'al fauzil 'adzim" (Allah bersama kalian, semoga juara). Pria itu segera berucap: "Amin" sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu tersenyum bahagia.
Klub Etoile dalam bahasa Arab, resminya bernama "An-Najm ar-Riyadhi as-Sahili", biasa disingkat ESS. Dalam pertandingan final CAF Confederation kali ini melawan Orlando Pirates asal Afrika Selatan. Pada pertandingan pertama di kandang Orlando, Etoile berhasil menahan imbang 1-1. Selaku tuan rumah di pertandingan kedua ini, Etoile cukup menang 1-0, titel juara telah berada di tangan dan berhak atas hadiah sebesar 660.000 $. Untuk runner up diganjar 460.000 $.
Dalam sejarah klub, Etoile pernah sekali meraih juara CAF Confederation tahun 2006 dan runner up di tahun 2008. Meski bertindak selaku tuan rumah, Etoile harus mewaspadai Orlando Pirates yang dalam semifinal berhasil menjegal juara bertahan Al-Ahly (Mesir). Jika mengacu pada catatan tentang negara terbanyak peraih piala CAF Federation, tim-tim asal Tunisia menempati urutan pertama dengan 4 kali juara dan 3 kali runner up. Disusul Maroko, 3 kali juara dan 1 kali runner up.
Hari ini, rakyat Tunisia menggantungkan nasibnya pada Etoile du Sahel. Mereka berharap sepakbola Tunisia bangkit kembali. Di tangan F. Benzati (pelatih bertangan dingin), Da Silva (Striker asal Brasil) dan M. Sanda (pemain asli Tunisia), Etoile berusaha mewujudkan mimpi rakyat Tunisia pasca revolusi 2010 lalu.
Timnas Tunisia hanya sekali berhasil menjuarai Piala Afrika tahun 2004. Sedangkan dalam perhelatan Piala Dunia, Tunisia berhasil 4 kali lolos ke pesta bola sejagat raya itu (1978, 1998, 2002, 2006). Tahun 1978 di Argentina, meski tersingkir di fase penyisihan grup, namun sejarah mencatat Tunisia sebagai negara pertama asal Afrika yang berhasil meraih kemenangan. Yakni, saat membantai Mexico dengan skor 3-1 dan menahan Jerman 0-0.
Di hari sabtu dan minggu, cafe-cafe yang dilengkapi televisi siaran langsung sepak bola, selalu lebih ramai. Sambil menikmati Alonje Cofee dan rokok, para lelaki tua dan muda asyik ngobrol soal bola. Meski fasilitas bermain bola terbilang pas-pasan, tapi prestasi Timnas dan klub asal Tunisia patut diacungi jempol. Saya menyaksikan sendiri, anak-anak kecil bermain bola di gang-gang sempit, di pelataran apartemen, atau di hamparan lapangan pasir.
Semangat dan kejujuran adalah kunci keberhasilan sepakbola Tunisia. Meski jumlah penduduknya kurang dari 11 juta jiwa, tapi mereka mampu memilih 11 pemain top di atas lapangan hijau. Artinya, dari 1 juta jiwa terpilih 1 pemain hebat. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 250 jiwa, tapi nasib Timnas Garuda amburadul. Belum lagi soal liga yang hingga hari ini, belum jelas nasibnya. Dalam headline surat kabar pagi tadi, aku sempat membaca: “An-Najm..Tuhaqqiq al-hilm 90 daqaiq” (An-Najm siap meraih mimpi dalam 90 menit).

Hingga tulisan ini selesai, pertandingan antara Etoile versus Orlando masih berlangsung. Sebenarnya, hati ini ingin sekali menonton di Stade Olympique de Sousse, stadion kebanggaan warga Sousse yang mampu menampung 28.000 penonton. Jaraknya juga dekat, kurang dari 1 km dan bisa ditempuh dengan naik mobil angkot sekitar 10 menit. Namun, sejak pagi penjagaan aparat keamaan begitu ketat. Maklum, Selasa (24/11/15) lalu baru terjadi ledakan bom di Ibukota Tunisia.
Tapi,….”Treet…tet…teet..”, aku mendengar suara klakson mobil membahana di langit kota Sousse. Sayup-sayup ada suara “Champione…Champione…Ole..Olee…”. Segera aku mencari kabar di laman website. Sport24 memberitakan bahwa Etoile du Sahel berhasil mengalahkan Orlando Pirates dengan skor 1-0. Meski menang tipis, tapi cukup bagi klub “An-Najm” -sesuai namanya- untuk meraih juara dan layak meraih bintang.
Euforia ini pasti terus berlanjut hingga beberapa hari ke depan. Bahkan, saat tulisan ini selesai, tak henti-hentinya warga Sousse beryel-yel meneriakkan kemenangan. Terbukti, bahwa nafas kebebasan warga Tunisia bisa dirasakan di dalam cafe dan dunia sepakbola. Mabruk!! Salam satu jiwa dari Aremania untuk Elang dari Chartage.

Sousse, Tunisia, 29 Nopember 2015

26 November 2015

LEDAKAN API & AIR DI TUNISIA


Selasa (24/11/15), terjadi 2 ledakan besar di Tunisia. Pertama, ledakan berupa air. Untuk pertama kalinya, selama 45 hari saya tinggal di kota Sousse, hujan turun deras sekali, tidak seperti biasanya yang hanya gerimis.Tapi di siang itu, sekitar pukul 10 pagi waktu setempat, tidak hanya air yang membasahi bumi, tapi juga es disertai angin yang bertiup kencang layaknya badai gurun. Langit benar-benar hitam pekat. Kabarnya, sehari sebelumnya terjadi gerhana matahari di ibukota Tunisia.
Langit Tunisia yang biasanya terlihat cerah dan indah menjadi gelap tertutup awan pekat. Melihat derasnya air, saya yakin hujan akan segera reda. Benar, tak sampai sejam, hujan telah berhenti. Uniknya lagi, tiba-tiba langit terang benderang dan matahari mulai menampakkan dirinya, walaupun jalanan masih basah dan penuh genangan air.
Menurut warga Tunisia, hujan deras hari itu adalah tanda peralihan dari musim panas ke musim dingin. Pantas saja, beberapa hari terakhir ini, suhu udara terasa dingin hingga mencapai 11 derajat celsius. Di masa peralihan, cuaca sering tidak menentu. Namun, saat bulan Desember nanti tiba, cuaca akan stabil menjadi dingin terus hingga Pebruari-Maret.

Ledakan kedua berupa api. Bukan musibah kebakaran, tapi benar-benar bom yang meledak menjelang maghrib di jantung Ibukota Tunisia. Tepatnya di Jalan Mohammad V, dekat kantor Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pariwisata. Awalnya, kabar ini saya terima dari teman yang tinggal di kawasan Makal Zaim, Old Tunis, melalui pesan WA. Lalu, segera saya melihat kabar di tv nasional, Tunisia Nat-1.
Ternyata, yang diledakkan adalah sebuah bus yang mengangkut "Al-Amn Al-Riasy" (Paspamres) alias Pasukan Pengaman Presiden. Ledakan itu berasal dari halte bus di dekat bekas markas partai presiden Zine el-Abidine Ben Ali. Nah, saat bus berhenti, tiba-tiba "Boom".
Menurut stasiun tv setempat, akibat ledakan tersebut, 11 orang luka-luka dan 12 orang meninggal dunia. Menurut versi surat kabar online, ada perbedaan jumlah korban tewas. BBC menyebut 12 orang, Aljazeraa 14 orang, dan Elwatannews malah merilis 15 orang kehilangan nyawa.
Pemerintah memastikan bahwa semua korban tewas adalah anggota Paspampres, bukan warga sipil. Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi menetapkan status darurat nasional selama 30 hari dan jam malam (hadzar tijwal) di ibukota mulai pukul 21:00 hingga 05:00. Selain itu, perbatasan dengan Libia ditutup selama 15 hari. Sementara itu, pihak KBRI menghimbau agar WNI di Tunisia tetap waspada dan menghindari perjalanan jauh.
Kelompok ISIS mengklaim berada di balik serangan mematikan itu. Melalui pesan pada media sosial, ISIS menyatakan mengirim bomber bunuh diri. "Ransel dan ikat pinggang berisi bahan peledak seberat 10 kg digunakan," kata Kementerian Dalam Negeri Tunisia seperti dikutip dari BBC. Gedung Putih mengecam keras serangan ini yang ditengarai sebagai teror lanjutan pasca serangan di Paris beberapa hari yang lalu.
Sebenarnya, hari Selasa itu, kami dijadwalkan bertemu Rektor Universitas Zaituna di kota Tunis. Namun karena beberapa hal, pertemuan tersebut ditunda hari Selasa depan, 1 Desember. Akhirnya, siang itu kami isi dengan acara mendesain materi ajar untuk mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora, Sousse.
Saya sempat berdialog dengan beberapa mahasiswa terkait serangan bom bus di kota Tunis yang jaraknya masih 140 km dari Sousse. Mereka juga mengecam ulah "Irhabiyah" (terorisme) dan menyesalkan penyalahgunaan "Islam" untuk menghalalkan segala cara. Di mata warga Tunisia yang moderat, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak sedikitpun ada celah pembenarannya di agama mana pun, apalagi Islam yang secara esensial menyerukan salam dan kedamaian.
"Apakah kira-kira itu ulah Wahabi-Salafi?", tanyaku. Salah satu mahasiswa menjawab: "Fa man?" (Siapa lagi?). Salafi Tunis adalah nama baru dari Wahabi. Sebuah gerakan reformasi keagamaan dalam Islam yang mengusung visi pemurnian akidah dari segala takhayul, bid’ah dan khurafat, disingkat TBC. Dinamakan Wahabi karena dinisbatkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M), pendiri gerakan ini, di Saudi Arabia.
Atasnama "Purifikasi" (pemurnian agama), mereka memberangus apapun yang dinilai terjangkit TBC oleh pemikiran mereka yang kerdil. Menurut catatan yang saya baca, sejak revolusi Tunisia pecah tahun 2010, banyak situs bersejarah dibakar oleh Salafi Tunis. Sebut saja, komplek makam ulama sufi terkenal Syekh Sidi Abu Said al Baji, di pinggir utara ibukota. Makam guru Syekh Hasan Syadzili (w 1258 M) itu diobrak-abrik dan dibakar tahun 2013 lalu.
Sebelumnya, mereka juga membakar makam dan zawiyah Sayidah Manubiyah di Manuba, Sidi Hasyani di Kota Manzil Abdurrahman, Sidi Abdul Qodir di Manzil Bouzlifah, dan beberapa lainnya. Makam mendiang Presiden Habib Borguiba di Monastir juga diserang.
Jika PBNU pernah menyatakan bahwa Indonesia darurat Wahabi, maka statement itu bukan isapan jempol. Tidak hanya Indonesia dan Tunisia, tapi dunia mesti mewaspadai gerakan terorisme atasnama apapun, terlebih lagi atasnama Islam. Para pemuja TBC harus diposisikan sebagai "musuh bersama" atas kemanusiaan sebelum air dikalahkan api.
Semoga guyuran air hujan di Soessa, selain petanda datangnya musim dingin, sekaligus menjadi isyarat bergulirnya semangat dan kesadaran baru untuk meredam api kemarahan dan kebodohan.
Sousse, Tunisia, 26 Nopember 2015

23 November 2015

SENSASI ANJING TUNISIA


"Huk..huk..huk..!", suara gonggong anjing itu sering terdengar bersautan sebelum subuh. "Ah, mungkin hanya satu dua ekor saja, itupun milik non-muslim", pikirku, saat baru tiba di Tunisia. Perkiraanku ini ternyata keliru. Sebab, realitasnya lumayan sering terlihat anjing berseliweran di jalan raya.
Aku yang masih awam, bertanya dalam hati, "Bagaimana mungkin Tunisia yang hampir 100% penduduknya beragama Islam, kok akrab dengan anjing?". Akhirnya, aku mendapat informasi, bahwa muslim di Tunisia menganut madzhab Maliki, bahkan madzhab Maliki dinyatakan resmi sebagai madzhab negara di bidang fiqih. Tapi di bidang akidah, dipastikan, muslim Tunisia adalah sunni yang moderat.
Jika melihat pendapat 4 madzhab fiqh (Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hanbali), -seperti dalam kitab Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-'Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri-, maka memang ditemukan perbedaan pendapat tentang najisnya anjing.
- Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi'i sebagai madzhab terbesar di dunia dan dianut oleh umat Islam di Indonesia secara turun-menurun, menghukumi bahwa seluruh bagian anjing adalah NAJIS, baik badan, bulu, lendir, keringat dan air liurnya.
Adapun cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan 7 kali air, salah satunya dicampur dengan tanah. Namun, ada pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyatakan, yang wajib dibasuh 7 kali itu adalah yang terkena air ludah anjing, sedangkan yang selain itu cukup dibasuh satu kali, ini berdasarkan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Raudhah dan Al-Majmu', seperti dikutip dari kitab Kifayatul Akhyar 1/63.
Dalam kitab yang sama, ada juga satu pendapat tentang sabun yang dapat berfungsi sebagai pengganti tanah untuk menyucikan najis anjing.
- Madzhab Maliki
Madzhab yang dianut semua muslim di Tunisia ini berpendapat bahwa anjing yang hidup adalah SUCI baik badannya, bulunya maupun air liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat anjing, maka hukumnya ta’abbudi (sunnah). Artinya, sangat dianjurkan.
- Madzhab Hanafi
Berpandangan bahwa badan dan bulu anjing itu SUCI. Sedang air liur anjing adalah NAJIS. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
- Madzhab Hanbali
Ada dua pendapat di antara ulama madzhab Hanbali yaitu: (a) Anjing itu NAJIS baik badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan bulu anjing itu SUCI. Hanya air liurnya yang NAJIS.
Berada di Tunisia, ber-Syafi'i di tengah-tengah muslim yang ber-Maliki, merupakan sensasi tersendiri. Karena, kita bisa merasakan indahnya rahmat di tengah perbedaan pendapat di antara para fuqaha. Tapi, jangan minta saya memelihara anjing sepulang dari Tunisia, ih...ngeri...! Menurut riset, dari 10 binatang yang paling ditakuti manusia, ranking pertama adalah ular, disusul anjing.
Di Tunisia sendiri, mereka yang memelihara anjing adalah kaum muslim "abangan". Dalam madzhab Maliki, dzat anjing yang hidup memang suci, tapi memakan daging anjing, tetap HARAM. Di banyak restoran dan hotel, juga sering ditemukan larangan membawa anjing.
Lalu, bagaimana hukumnya memelihara anjing? Perlu diketahui, tidak mudah memelihara anjing dan biaya perawatannya juga mahal.
Memang, BOLEH hukumnya memelihara anjing, tapi hanya untuk beberapa keperluan saja yaitu sebagai anjing penjaga rumah, anjing pemburu, dan anjing penunjuk jalan (untuk orang buta misalnya). Sedangkan untuk dipelihara dalam rumah, Nabi SAW tidak menganjurkannya, karena dengan beberapa alasan:
1) Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya.
Jangan keburu senang dulu. Cuma Malaikat Jibril dan Rahmat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya. Sedangkan malaikat maut pencabut nyawa tetap masuk ke rumah tersebut. Rugi dong, hehehe...
2) Pahala seseorang akan dikurangi setiap harinya sebesar satu mata uang emas kalau memelihara anjing di dalam rumahnya.
Syeikh Yusuf al-Qardhawi berkata, hukum memelihara anjing sebagai pet (hobi) adalah haram, yakni diharamkan oleh Rasulullah saw. Dalilnya: Dari Sufyan bin Abu Zuhair, bahwa Nabi saw bersabda,” Barangsiapa memelihara anjing bukan untuk menjaga ladang atau ternak, maka setiap hari pahalanya berkurang satu qirath.” [Bukhari-Muslim dan semua ahli hadith yg lain] Ini juga pendapat mayoritas madzhab (Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Zahiri; lihat: alMajmuu’, IX/234).
Hayooo…, siapa yang mau dikurangin pahalanya? Sudah dosa banyak, pahalanya dikorting lagi, he..he..he...
Yang jelas, ada pengalaman unik, saat kita yang beda madzhab berada di tengah-tengah madzhab lain. Ada sensasi tersendiri. Jika di Indonesia, sebelum waktu subuh tiba, terdengar kokok ayam karena mata ayam jago mampu melihat malaikat, maka di Tunisia, justru anjing yang menggonggong agar kafilah tidak berlalu dan tidur terlelap di tengah dinginnya gurun sahara.
Tunisia, 23 Nopember 2015

9 November 2015

SUQ AHAD SOUSSE, TUNISIA


Istilah "Pasar Minggu" atau "Suq Ahad" (bahasa Arab) secara harfiah memberi arti "pasar yang hanya ramai di hari Minggu". Di Indonesia, selain definisi ini, pasar minggu juga identik dengan pasar murah, pasar dadakan, dan pasar untuk kelas ekonomi ke bawah. Ternyata, makna kontekstual ala Indonesia itu, juga sama dengan "Suq Ahad" di Sousse, Tunisia.
Dari apartemen tempat kami menetap di Sahlul, lokasi "Suq Ahad" harus ditempuh dengan naik angkot atau taxi selama 10 menit dengan biaya 600 milim (Rp 4.200). Lokasi Suq Ahad sebenarnya berada di Suq Markazi (Pasar Induk), tempat berjualan aneka jenis bahan makanan mentah seperti: bumbu masak, buah, gandum, daging, ayam potong, ikan laut, telur, dan sayur mayur. Akan tetapi, khusus di hari Minggu, Suq Markazi bagaikan pasar tumpah. Pedagang dari berbagai daerah berdatangan untuk menggelar dagangannya persis seperti PKL.
Menurut penuturan pedagang, jika hari Selasa, mereka pindah ke "pasar murah" di kota lain bernama Mahdiyah. Jadi, tiap kota memiliki hari pasaran sendiri dan itu sudah menjadi tradisi di semua provinsi yang ada di Tunisia, kecuali di pasar Medina, pasar terbesar di ibukota Tunisia.

Pasar Minggu di kota Sousse mulai ramai pada pukul tujuh pagi hingga jam satu siang. Para pedagang tampak disiplin dalam menggelar barang dagangan. Jika waktu habis, mereka segera berkemas dan meninggalkan lokasi. Tanpa perlu dikomando, apalagi berhadapan dengan Satpol PP. Ini yang menarik bagi saya.
Dengan adanya musim panas dan dingin, warga Tunisia tampak dinamis. Jika musim panas tiba, mereka berjemur dan memakai baju "terbuka" ala Eropa. Sebaliknya, jika musim dingin tiba, mereka bersiap diri dengan selimut, baju hangat, jaket, dan segala hal yang menghangatkan tubuh. Perubahan musim ini ternyata menjadi peluang para pedagang. Karena kami tiba di musim dingin, maka tidak mengherankan, jika dimana-mana banyak orang berjualan baju hangat dengan harga yang relatif murah. Kaos jaket, misalnya, hanya 3 Dinar (Rp 21.000), celana 2 Dinar (Rp 14.000), dan topi musim dingin cuma 2.5 Dinar (Rp 18.500).
Dibanding dengan Suq Medina di ibukota Tunisia, harga barang di Suq Ahad jauh lebih murah dan bisa ditawar hingga ke titik terendah. Hm…sadis banget ya….hehee. Di Suq Ahad, Tidak ada harga khusus, baik untuk turis maupun pribumi, harga sama. Semua dilayani dengan ramah tamah. Beda dengan di ibukota. Di sana, jika tidak teliti dan pintar negosiasi, kita bisa dikibuli.
Melintasi Suq Ahad laksana menemukan oase di tengah gurun, alay banget ya....hehe.. Maklum, kota Sousse sehari-hari tampak sepi. Lalu lalang orang maupun kendaraan tidak ramai. Suasana perkampungan juga sepi karena desain setiap rumah mesti dikelilingi tembok tertutup layaknya benteng kerajaan. Yang ramai hanya cafe-cafe, tempat warga Tunisia menikmati hidup dan bertegur sapa. Selain itu, tidak ada wahana yang ramai lagi kecuali pasar.
Dalam arti lain, "Ahad" bermakna "satu, seseorang, sendiri". Tapi di Suq Ahad, Anda tidak akan merasa sendiri lagi. Itulah sebabnya, suasana Suq Ahad selalu dirindukan saat berada di Tunisia, terutama oleh Kami yang kesepian, jauh meninggalkan keluarga. Salam Satu Jiwa.
Tunisia, 9 Nopember 2015

BEKAL HIDUP POSFI 2015


Jika Anda harus menetap di luar negeri selama 2 bulan lamanya, berada di negara yang jelas beda corak sosial, budaya, dan sebagainya, apa yang Anda persiapkan?
Adaptasi secepatnya, ini jawaban riil agar kita tidak merasa terasingkan dan lekas membaur, mengikuti arus. Tapi, tentu saja harus siap bertahan hidup. Nah, untuk adaptasi bertahan hidup ini juga terkait dengan selera makan.
Tahun 2015, kami berenam termasuk Duta Indonesia dalam program POSFI Kemenag yang diutus ke Tunisia. Belum pernah sekalipun terlintas dalam pikiran atau bahkan mimpi, saya berkesempatan tinggal di negara berpenduduk 11 juta jiwa itu, apalagi selama 2 bulan.
Menjelang berangkat, hanya sedikit informasi yang saya peroleh tentang negara yang pernah sekali masuk dalam ajang Piala Dunia ini. Bahwa, biaya hidup di sana mahal karena negara itu bekas jajahan Prancis, gaya hidup lebih dekat dengan Eropa bukan lagi Arab-Asia, iklim yang super dingin di akhir tahun, dan tidak banyak produk makanan yang cocok dengan lidah Indonesia.
Karena minimnya informasi, maka dengan sekuat tenaga, hehe..... saya pun membawa banyak bekal makanan seperti mie instan, kopi bubuk, gula, bumbu masak, krupuk, abon sapi, kecap, teh, bumbu pecel, bahkan ikan asin kering. Tak hanya itu, saya pun dibekali alat masak semisal rice cooker, electric heating cup, tapper ware, piring, sendok, dan banyak lagi termasuk obat-obatan. Ditambah lagi baju dan laptop. Hm...kayak mau minggat ya...hehe..
Untuk itu, perlu 1 kopor dan 2 tas yang bobot semuanya hampir 30 kg. Bisa dibayangkan, betapa berat bawaan untuk bertahan hidup, hehe... Setibanya di Tunisia, semua bekal makanan itu nyatanya sangat berguna dan tampak mahal harganya dibanding harga sembako di negeri zaitun. Meskipun, kenyataannya, saya bersama teman-teman harus belanja bahan mentah lagi. Meminjam bait lagunya Meggi Zed, "masak, masak sendiri... tidur tidur sendiri....".

Untung saja, perabotan dapur di apartemen kami, Iqomah An Nouri di Sahlul Sousse, tergolong lengkap. Ada kompor yang gasnya tanpa beli isi ulang, kulkas, panci, piring dan sebagainya, tak terkecuali mesin cuci yang amat membantu hidup kami.
Satu lagi yang membuat kami senang, yaitu, salah satu teman kami, Dr Sofin (IAIN Banten) ternyata jago masak. Selama kuliah di Maroko, ia sudah terbiasa masak hingga kami menyebutnya Chef Maroko (tinggal MA-kan dan ROKO-k, hehe). Jika waktu masak tiba, kami berempat sibuk di dapur, ada yang cuci piring, bikin bumbu, goreng ikan dan memasak nasi. Nah, tugas terakhir ini spesialisasi saya, hehe...
Selama di Tunisia, kami mampu memproduksi aneka macam karya "kuliner", sebut saja, nasi goreng sosis, nasi pecel Kawi, martabak India, spagetti Itali, Sarden, ayam balado, kare, rawon, soto, dan banyak lagi. Setiap menu baru, sebelum disantap bareng, ada sesi pemotretan, lalu kita share ke Grup WhatsApp.
Jadi, Program POSFI Kemenag RI ini tidak hanya mengajarkan kami studi banding ilmiah dan wisata budaya, tapi juga yang tidak kalah pentingnya, team work dan wisata kuliner untuk bertahan hidup.

Tunisia, 9 Nopember 2015